Search

Minggu, Juni 27, 2010

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA


NOMOR 2 TAHUN 2005
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang :
a. bahwa pencemaran udara di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah
mencapai tingkat yang memprihatinkan sehingga menyebabkan turunnya kualitas
udara dan daya dukung lingkungan;
b. bahwa zat, energi dan/atau komponen lain sebagai hasil sampingan maupun limbah
suatu kegiatan dapat menimbulkan turunnya mutu/kualitas lingkungan hidup yang
akhirnya dapat mengakibatkan pencemaran udara;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan b, serta dalam upaya
memelihara dan menjaga kualitas lingkungan, khususnya udara perlu menetapkan

Pengendalian Pencemaran Udara dengan Peraturan Daerah.
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3274);
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3495);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3821);
6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3878);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
53 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4276);
11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 1999
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran
Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1999 Nomor 23);
12. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2001
tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2001
Nomor 66).
Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
dan
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi dalam organisasi pemerintah
Daerah Provinsi DKI Jakarta yang membidangi lingkungan hidup.
5. Badan adalah suatu bentuk usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah dengan macam dan dalam bentuk apapun, persekutuan, kumpulan,
firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana
pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk usaha lainnya.
6. Pencemaran Udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara
ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak
dapat memenuhi fungsinya.
7. Pencemaran udara di ruang tertutup adalah pencemaran udara yang terjadi di dalam
gedung dan transportasi umum akibat paparan sumber pencemar yang memiliki
dampak kesehatan kepada manusia
8. Pengendalian Pencemaran Udara adalah upaya pencegahan dan/atau
penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara.
9. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang
berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan
mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup
lainnya.
10. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di
udara bebas.
11. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat
dilakukan inventarisasi.
12. Baku Mutu Udara Ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau
komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
13. Perlindungan Mutu Udara Ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien
dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya.
14. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu
kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang
mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
15. Mutu Emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien.
16. Sumber Emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari
sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun
sumber tidak bergerak spesifik.
17. Sumber Pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan
pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
18. Sumber Bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu
tempat yang berasal dari kendaraan bermotor.
19. Sumber Tidak Bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat.
20. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau
beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam
udara ambien.
21. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat
atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang
kendaraan bermotor.
22. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau
padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak
spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik.
23. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang
diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat.
24. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera penciuman.
25. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang
dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
26. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan
yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
27. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia
dan kenyamanan lingkungan.
28. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan
Desibel disingkat Db.
29. Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
30. Baku tingkat getaran adalah batas maksimal tingkat getaran yang diperbolehkan
dari usaha atau kegiatan dari media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan
terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan.
31. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak
dan keinginan di tengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang
lingkungan hidup.
32. Ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi
oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan/atau
sarana kota/lingkungan, dan atau pengaman jaringan prasarana, dan/atau budidaya
pertanian.


BAB II
AZAS, TUJUAN DAN SASARAN

Pasal 2
(1) Pengendalian Pencemaran Udara diselenggarakan dengan azas tanggung jawab,
partisipasi, berkelanjutan dan berkeadilan serta manfaat yang bertujuan untuk
meningkatkan derajat dan melindungi kesehatan masyarakat dalam rangka
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Sasaran Pengendalian Pencemaran Udara adalah:
a. terjaminnya keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan dan pelayanan umum;
b. terwujudnya sikap prilaku masyarakat yang peduli lingkungan sehingga tercapai
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, antara manusia dan lingkungan
hidup;
c. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
d. terkendalinya sumber pencemar udara sehingga tercapai kualitas udara yang
memenuhi syarat kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.


BAB III
PERLINDUNGAN MUTU UDARA

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status
mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat
gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.
(2) Perlindungan mutu udara dalam ruangan didasarkan sama dengan perlindungan
mutu udara ambien sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur atas pertimbangan status mutu udara ambien dengan
memperhatikan baku mutu udara ambien nasional.
(2) Baku mutu udara ambien Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 5
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian
terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemaran udara, kondisi
meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah.
(2) Apabila status mutu udara ambien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan status mutu udara ambien berada di atas baku mutu udara ambien,
Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien Daerah sebagai
udara tercemar.
(3) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur wajib melakukan
penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 6
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor yang berlaku di Daerah ditetapkan oleh Gubernur dengan
ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor Nasional.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 7
(1) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak terdiri atas:
a. baku tingkat kebisingan;
b. baku tingkat getaran;
c. baku tingkat kebauan; dan
d. baku tingkat gangguan lainnya.
(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak yang berlaku di Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan:
a. berpedoman kepada Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak Nasional;
b. mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek
keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
(3) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor yang berlaku di Daerah ditetapkan
oleh Gubernur dengan:
a. berpedoman kepada Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor Nasional;
b. mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek
teknologi.
(4) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditinjau
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara
Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab, menetapkan Indeks Standar Pencemar
Udara di Daerah.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab mengumumkan Indeks Standar Pencemar
Udara di Daerah yang diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas
udara kepada masyarakat.
(3) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
(4) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh
dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan
berkesinambungan.
(5) Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara dapat dipergunakan untuk:
a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi
tertentu dan pada waktu tertentu;
b. bahan pertimbangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan pengendalian pencemaran udara.
Pasal 9
(1) Apabila hasil evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara menunjukkan kategori tidak
sehat Gubernur wajib melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara.
(2) Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai
nilai 300 (tiga ratus) atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka
Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara
melalui media cetak dan media elektronik.


BAB IV
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

Pasal 10
(1) Ruang lingkup pengendalian pencemaran udara meliputi:
a. pengendalian pencemaran udara ambien;
b. pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan.
(2) Pengendalian pencemaran udara ambien dan udara di dalam ruangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:
a. pencegahan pencemaran udara;
b. penanggulangan pencemaran udara
c. pemulihan mutu udara.


BAB V
PENCEGAHAN PENCEMARAN UDARA

Pasal 11
(1) Pencegahan pencemaran udara ambien dan udara dalam ruangan dilakukan melalui
upaya-upaya yang terdiri atas:
a. penetapan baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu
emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas
kebisingan, baku mutu udara dalam ruangan , dan Indeks Standar Pencemar
Udara ;
b. penetapan kebijakan pencegahan pencemaran udara.
(2) Sebelum dilakukan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
melakukan inventarisasi, penelitian atau kajian yang akan digunakan sebagai dasar
penyusunan penetapan tersebut.
(3) Inventarisasi, penelitian atau kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber
pencemara udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah;
b. pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor;
c. pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang
batas kebisingan kendaraan bermotor;
d. perhitungan dan penetapan Indeks Standar Pencemar Udara di Daerah.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi
dan/atau gangguan ke udara ambien dan dalam ruangan wajib:
a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan
yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang
diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka
upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau
kegiatannya.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi
dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(3) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah
ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(4) Setiap orang atau Badan yang melakukan usaha atau kegiatan yang menghasilkan
dan/atau memasarkan produk yang berpotensi menimbulkan emisi dan gangguan
udara ambien wajib menaati standar dan/atau spesifikasi bahan bakar yang
ditetapkan.
Pasal 13
(1) Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik
sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan
angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok.
(2) Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus
menyediakan tempat khusus untuk merokok serta menyediakan alat penghisap
udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak merokok.
(3) Dalam angkutan umum dapat disediakan tempat khusus untuk merokok dengan
ketentuan:
a. lokasi tempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak bercampur
dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan umum yang sama;
b. dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap udara atau
memiliki sistem sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
Setiap orang atau Badan dilarang membakar sampah di ruang terbuka yang
mengkibatkan pencemaran udara.


BAB VI
PENANGGULANGAN PENCEMARAN UDARA

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya
penanggulangan pencemaran udara.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti pedoman
yang ditetapkan oleh Gubernur.
Bagian Kedua
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 16
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan
terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang
keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan
penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 17
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu
emisi, dan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis.
Bagian Ketiga
Sumber Bergerak
Pasal 18
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap
penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan
bermotor, perawatan emisi gas buang kendaraan bermotor, pemantauan mutu udara
ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan
pengadaan bahan bakar ramah lingkungan.
Pasal 19
(1) Kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjalani uji
emisi sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan.
(3) Bagi kendaraan bermotor yang dinyatakan lulus uji emisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberi tanda lulus uji emisi.
(4) Uji emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan/atau pihak swasta
yang memiliki bengkel umum yang telah memenuhi syarat.
(5) Hasil uji emisi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan bagian dari persyaratan pembayaran pajak kendaraan bermotor.
Pasal 20
(1) Angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah wajib
menggunakan bahan bakar gas sebagai upaya pengendalian emisi gas buang
kendaraan bermotor.
(2) Kewajiban penggunaan bahan bakar gas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Keempat
Sumber Gangguan
Pasal 21
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan meliputi
pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang
keluar dari kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan
teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 22
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis.
Pasal 23
(1) Kendaraan bermotor yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang
batas kebisingan.
(2) Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjalani uji
kebisingan.
(3) Bagi kendaraan bermotor yang dinyatakan lulus uji kebisingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberi tanda lulus uji kebisingan
(4) Uji kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan/atau pihak swasta
yang memiliki bengkel umum yang telah memenuhi syarat.
Bagian Kelima
Pengelolaan Kualitas Udara Dalam Ruangan
Pasal 24
(1) Pengelola gedung umum bertanggung jawab terhadap kualitas udara di dalam
ruangan yang menjadi kawasan umum.
(2) Pengelola gedung umum wajib mengendalikan pencemaran udara di dalam ruangan
parkir kendaraan bermotor.
(3) Bentuk tanggung jawab dan kewajiban bagi pengelola gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


BAB VII
PEMULIHAN MUTU UDARA

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan pemulihan mutu
udara.
(2) Pemulihan mutu udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti pedoman
yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
Pasal 26
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan
upaya dalam rangka pengembangan ruang terbuka hijau.
(2) Pengembangan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti
pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Hari Bebas Kendaraan Bermotor
Pasal 27
(1) Dalam rangka pemulihan mutu udara ditetapkan hari bebas kendaraan bermotor
pada kawasan tertentu.
(2) Hari bebas kendaraan bermotor pada kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
(3) Ketentuan mengenai penetapan hari bebas kendaraan bermotor pada kawasan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan lebih lanjut
dengan Peraturan Gubernur.


BAB VIII
PERIZINAN

Pasal 28
(1) Setiap orang atau Badan yang kegiatan usahanya mengeluarkan emisi wajib
memiliki Izin Pembuangan Emisi dari Gubernur.
(2) Permohonan untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
diajukan secara tertulis kepada Gubernur dalam hal ini instansi yang bertanggung
jawab .
(3) Persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan Izin Pembuangan Emisi ditetapkan
dengan Peraturan Gubernur.
(4) Izin Pembuangan Emisi berlaku selama kegiatan usaha berlangsung dan dievaluasi
secara berkala.


BAB IX
BIAYA PENANGGULANGAN DAN PEMULIHAN

Pasal 29
(1) Setiap orang atau Badan yang kegiatan usahanya menimbulkan pencemaran udara
wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya
pemulihannya.
(2) Perhitungan biaya penanggulangan pencemaran udara dan biaya pemulihan serta
tatacara pembayarannya ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


BAB X
GANTI RUGI

Pasal 30
(1) Setiap orang atau Badan yang kegiatan usahanya menimbulkan kerugian bagi pihak
lain yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi
terhadap pihak yang dirugikan.
(2) Perhitungan ganti rugi dan tatacara pembayarannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


BAB XI
RETRIBUSI

Pasal 31
Terhadap pelayanan pemberian Izin Pembuangan Emisi Sumber Tidak Bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikenakan retribusi yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.


BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 32
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya dalam
pengelolaan kualitas udara.
(2) Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial;
d. memberikan saran, pendapat, dan apresiasi;
e. menyampaikan informasi dan menyampaikan laporan.
Bagian Kedua
Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup Untuk Mengajukan
Gugatan
Pasal 33
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan dan/atau
melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah pencemaran udara
yang merugikan perikehidupan masyarakat.
(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran udara
sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
Gubernur dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
(3) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan kualitas udara sesuai
dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
untuk kepentingan pelestarian fungsi udara.
(4) Tata cara pelaksanaan hak gugatan dan/atau pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.


BAB XIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 34
(1) Pemerintah Daerah bekerja sama dengan masyarakat melakukan pembinaan dan
pendampingan terhadap orang atau Badan yang kegiatan usahanya berpotensi
menimbulkan pencemaran udara.
(2) Pembinaan dan pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. melakukan sosialisasi kebijakan pencegahan, penanggulangan pencemaran
udara dan pendampingan dalam upaya pemulihan mutu udara;
b. melakukan pendidikan dan pelatihan pengendalian pencemaran udara;
(3) Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur.
Pasal 35
(1) Pembinaan pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan melalui pemberian
insentif bagi pelaku usaha dan atau kegiatan yang menaati peraturan pengendalian
pencemaran udara.
(2) Insentif sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 36
(1) Gubernur melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur
dapat menetapkan Pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari
dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan,
memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab
atas usaha dan/atau kegiatan.
(4) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta
wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 37
Setiap penanggung jawab dan/atau kegiatan wajib:
a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu
terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
b. memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal
itu diminta pengawas;
17
c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau
contoh udara ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan
pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasal 38
(1) Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi,
baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh
pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) wajib disimpan
dan disebarluaskan kepada masyarakat.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan
laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan
kepada Gubernur.
(3) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan
terhadap mutu udara ambien.
(4) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat digunakan oleh Gubernur sebagai bahan pertimbangan penetapan
pengendalian pencemaran udara.


BAB XIV
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 39
(1) Terhadap kegiatan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 28 dapat dikenakan
sanksi administrasi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pencabutan izin.
(2) Tata cara pelaksanaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 40
(1) Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidik
tindak pidana sebagai dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang
pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan para Pejabat Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan
pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penyitaan beda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka
atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Penyidik tidak berwenang melakukan
penangkapan, penahanan dan/atau penggeledahan.
(4) Penyidik membuat berita acara setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka;
b. pemasukan rumah;
c. penyitaan benda;
d. pemeriksaan surat;
e. pemeriksaan saksi;
f. pemeriksaan di tempat kejadian; dan
g. mengirimkan berkasnya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI.


BAB XVI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 41
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 25 ayat
(1) diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
17, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1)
diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dibebankan
biaya pelaksanaan penegakan hukum.
(4) Besarnya biaya penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan
dengan Peraturan Gubernur.


BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42
Keputusan Gubernur yang mengatur baku mutu udara ambien dan baku tingkat
kebisingan, baku mutu emisi kendaraan bermotor, baku mutu emisi sumber tidak
bergerak, dan pemeriksaan emisi dan perawatan mobil penumpang pribadi masih tetap
berlaku sampai diadakan perubahan berdasarkan Peraturan Daerah ini.
Pasal 43
Bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah beroperasi belum memiliki izin pembuangan
emisi ke media lingkungan, maka dalam waktu satu tahun sejak ditetapkannya
Peraturan Daerah ini wajib memperoleh izin pembuangan emisi dari Gubernur.


BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44
Pelaksanaan Peraturan Daerah ini sudah ditetapkan selambat lambatnya satu tahun sejak
Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 45
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,


SUTIYOSO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar